Tegal, Jepangnya Indonesia
UNGKAPAN Tegal sebagai Jepangnya Indonesia, mungkin hanya menjadi klaim lokal yang diketahui warga Tegal sendiri atau warga di wilayah eks Karesidenan Pekalongan. Meski demikian, klaim itu bukan tidak beralasan. Industri pengolahan merupakan penyumbang 25,81 persen Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB) Kabupaten Tegal, berada di peringkat kedua setelah perdagangan, hotel, dan restoran (28,64 persen).
Tidak kurang dari 24 jenis industri logam dapat dihasilkan pengrajin Tegal, seperti industri komponen dan suku cadang alat berat, automotif, kapal dan kelautan, listrik, kesehatan, senjata angin, aksesori, perbengkelan, pertanian, perkebunan, bahan bangunan dan rumah tangga, karoseri, pemadam kebakaran, dan peralatan pompa air (Kustomo (ed), 2005).
Tegal juga dikenal sebagai tempat berdirinya lingkungan industri kecil (LIK) pertama di Jawa Tengah.
Kultur Wirausaha
Penduduk Tegal dikenal memiliki kultur wirausaha yang telah menjadi tradisi sejak lama. Keberadaan warung tegal (warteg) yang merajai bisnis makanan di Ibu Kota dan kota-kota lain, bersaing dengan Rumah Makan Padang, menjadi salah satu bukti.
Di bidang industri kecil, kultur itu terbangun sejak kedatangan Ki Gede Sebayu (berkuasa 1601-1620), pendiri Tegal dari tlatah Pajang (Solo). Ki Gede Sebayu membawa serta 40 keluarga pengikutnya, yang ditempatkan di empat desa berbeda sesuai dengan keahliannya. Mereka yang bermukim di Desa Sayangan, andal membuat alat-alat perlengkapan dapur, dan yang menempati Desa Mejasem pandai membuat alat-alat pertukangan.
Pengikut Ki Gede Sebayu yang membuka lahan di Desa Pagongan, ahli membuat alat-alat gerabah, serta penduduk Desa Banjaran piawai mengolah bahan-bahan menjadi penganan atau jajanan.
Kultur itu menemukan momentumnya ketika Haji (Kaji) Gofur (91), salah seorang pengusaha besi asal Tegal mengangkut 21 pesawat terbang tua dari Madiun, Jawa Timur, pada dekade 1970-an. Oleh Kaji Gofur pesawat itu dipretheli menjadi bahan baku industri mesin rumahannya, serta dijual kepada pengusaha lain.
Paling tidak, sejak saat itu industri pengolahan logam mulai bergairah di Tegal. Selain LIK di Dampyak, Kramat, sentra-sentra industri itu tersebar juga di Kecamatan Talang, Tarub, Adiwerna, Kramat, Suradadi, Warureja, Lebaksiu, dan Bumijawa.
Tidak kurang 128.853 orang terserap pada industri-industri pengolahan, dari yang berskala besar, menengah, kecil, hingga mikro. Tidak salah bila kemudian Tegal mengklaim dirinya sebagai kota industri.
Tegal Bangkit
Bisa jadi klaim Tegal sebagai Jepangnya Indonesia atau Tegal sebagai Kota Industri (pengolahan) tidak dikenal publik secara luas, karena penduduk hanya memproduksi bahan komponen. Dengan bentuknya sebagai bahan setengah jadi, konsumen terakhir mungkin tidak sadar dan tidak mengira, bila jendela kedap air, kemudi, atau perlengkapan kapal yang ditumpanginya, atau suku cadang pompa air, rice mill hingga blankwir mobil pemadam kebakaran yang dilihatnya, diproduksi oleh pengrajin Tegal.
Realitas itu, di samping menegaskan keberadaan pengrajin Tegal dalam persepsi konsumen akhir juga membuat mereka menutup diri terhadap kemungkinan untuk lebih maju dan kreatif. Soal kreativitas, memang menjadi problem tersendiri, karena biasanya pengrajin membuat sebuah produk berdasarkan pesanan.
Sudah saatnya pengrajin Tegal berpikir untuk membuat produk hasil kreasi sendiri, bahkan memproduksi barang-barang jadi, tidak lagi sebagai komponen atau suku cadang. Transformasi itu akan lebih menguntungkan secara finansial dan moral hak cipta pengrajin, serta dapat mengangkat nama baik daerah di kancah regional dan nasional.
Pemberdayaan pengrajin juga dapat dilakukan dengan penguatan peran dan fungsi LIK. Problem klasik yang dihadapi pengrajin biasanya berkutat pada pemenuhan bahan baku, kreasi teknologi, serta jangkauan jaringan pemasaran.
Keberadaan LIK sangat strategis sebagai lokalisasi kegiatan wirausaha, dan dapat menjadi wadah pengrajin dalam mengorganisasi diri untuk bersaing di bisnis industri (pengolahan). Lokalisasi dalam LIK juga strategis dalam upaya mengontrol dan mengelola limbah hasil industri pengrajin.
Tidak kalah pentingnya adalah upaya-upaya strategis dalam menyikapi serbuan produk-produk dari China yang lebih murah. Pada level kebijakan, proteksi dapat dilakukan pada kebijakan impor maupun kemauan untuk menggunakan produk lokal. Kampanye penggunaan produk lokal dapat dimulai oleh pemerintah dalam program dan kegiatan pembangunan yang membutuhkan produk industri (pengolahan). Keberpihakan pemerintah dengan menggunakan produk lokal itu akan membantu pengrajin dalam meluaskan pemasaran produk. Bagi pengrajin, tidak ada cara lain kecuali tetap bertahan sembari mengembangkan diri dengan melakukan kreasi peningkatan mutu, hingga diversifikasi produk.